Begitulah doa Tato A. Setyawan di status FB-nya pada 19 Desember 2017. Dia pergi (8 Juli 2021) sebelum punya antologi sendiri. Untung ada FB yang masih memungkinkan kita membaca karya-karya meski pasti tak senyaman membaca antologi. Tato termasuk salah satu dari tiga penyair Kalsel yang rajin saya ikuti karyanya di FB. Dua penyair lainnya yaitu M. Johansyah dan YS Agus Suseno.
Saya lupa kapan berteman di FB dengan penyair ini. Kami punya 100 lebih teman yang sama. Meski begitu, interaksi maya kami memang sangat jarang. Tampak dari riwayat like bersama pada gambar postingan kawan yang tak lebih dari 20 gambar. Karena itu, mesin media sosial ini tidak mendekatkan saya dengannya dibandingkan dengan penyair Johansyah. Meski demikian, saya pernah bertemu dan ditraktir makan di Batulicin. Ia cerita tentang riwayat hidupnya dalam bidang jurnalistik dan literasi.
Karena memang alumni SMA Negeri 2 Banjarbaru ini jarang menulis puisi, meski tidak sejarang saya, saya kurang terpapar puisi-puisinya. Wajar jika jumlah like saya pada puisi-puisinya tak sebanding dengan like yang diberikan oleh Puja, Sandi, YS Agus, Yulian, Ali, Zulfaisal, Rezky, Ratih dll. Artinya, Tato bukan penyair sontoloyo yang asal-asalan nulis puisi. Puisinya matang dan dalam.
FB-nya bercerita bahwa ia pengagum karya Mustofa Bisri dan Ajamuddin Tifani. Kalau soal lagu, Puja Mandela, karibnya, pasti lebih tahu. Di media ini pula ia mengikrarkan diri sebagai bagian dari kubu sastra gombal di tengah maraknya kubu-kubuan di kalangan sastrawan (FB 27 Agustus 2020). Entah apa maksudnya. Namun, kalau kita runut antara lain ke pengalaman Sapardi Djoko Damono yang sajak-sajaknya sering digunakan menggombali orang lain, sastra gombal berarti sastra dengan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami, bukan sastra adiluhung yang mengerikan (Apriyono, 2017). Meski demikian, ia juga menyatakan sikapnya untuk tak menulis puisi sontoloyo, yakni puisi yang tidak baik (FB 27 Oktober 2018). Gombal dan sontoloyo baginya punya perbedaan yang jelas. Yang pertama mengacu pada politik sastra tapi yang kedua pada estetika sastra.
Dalam tulisan singkat ini saya ingin memperlihatkan sedikit dari sekian banyak kemilau estetika puisi karyanya. Mari kita mulai dari sajak "Ku Hantar Kau Menuju Cahaya" yang ia persembahkan untuk putrinya, Diva P. Damayanti.
perjalanan ini belum usai
masih banyak kelokan, katamu
hanya mula
hanya singgahan
masih jauh tujuan
maka kuhantar kau di situ
dalam lingkaran hikmah dan kebijaksanaan
di lembar kitab dan petuah guru
lihatlah, pintu itu senantiasa terbuka
ia menyilakanmu masuk
untuk merengkuh segala kebaikan
juga ilmu dan pijakanmu kelak
agar tak sesat di perjalanan
tak lupa jalan pulang
pada masanya kau akan tahu
betapa perjalananmu semenjak malam pertama kelahiran
dari hembus nafas juga jerit
peluh ibumu dan asma asma yang kukumandangkan di telingamu
kelak ia menjadi mata kompas langkahmu
kini kuhantar kau, wahai derai airmata
kuhantar dalam doa
dalam siang dan malamku
menuju cahaya
Batulicin, 25.04.18
Kata kunci penting yang acuannya sangat dinamis dalam sajak ini adalah diksi cahaya dan jalan pulang. Bagi Tato, ilmu yang paling penting buat putrinya harus berkualitas cahaya yang bisa menerangi jalan menuju pulang. Pulang di sini merupakan mata rantai dari sajak yang kelak diterima oleh sebagian pembaca sebagai isyarat spiritualnya menuju akhir hayatnya, pulang yang ilahiah. Ilmu yang bercahaya baginya adalah ilmu yang memberikan jalan terang bagi kepulangan manusia. Meski sajak ini ditulis dengan kata-kata yang sederhana, ia tak kehilangan daya merahasiakan makna dengan deiksis dinamis, ambigu, dan karenanya mungkin untuk menyegarkan persepsi pembacanya terhadap dua kata ini: cahaya dan pulang.
Tato juga menggunakan diksi cahaya ketika menulis sajak tentang hal-hal yang sangat sangat dekat dengan dirinya. Misalnya, pada sajak "Ibu Cahaya", sajak tahun 2017 yang di-posting pada 22 Desember 2018. Mungkin dalam rangka ikut merayakan Hari Ibu.
mendekapmu
segala luka meniada
memelukmu
segala sepi menepi
menyebutmu kasih
sirnalah pedih
menyebutmu rindu
lesaplah sendu
yang wangi mengharum di lubukku
di kalbumulah senantiasa kuperam rindu kasih sayang dan cinta
menjadikanku pelayar
mengarungi samudera luas
(kilau cahaya matamu. mata kompas hidupku. agar tak sesat)
Batulicin, 22.12.17
Tato menemukan cahaya dalam mata ibunya. Cahaya penunjuk jalan hidup yang sama ingin ia wariskan kepada putrinya. Mata di sini tentu bukan mata secara harfiah tapi lambang tentang pandangan hidup yang jauh, dalam, dan mencerahkan. Pandangan yang tidak menyesatkan. Pandangan yang ia ingin dekap, peluk, sebut, dan cium. Pandangan yang ia yakini bisa menyelamatkannya dalam menjalani hidup.
Keinginan kedua Tato terkait kematian pernah ia nyatakan kepada Agustina Thamrin dalam sajaknya "Ini Mantraku, Mantra Malam Beribu Kisah"
barangkali perjalanan mesti di catat
sebab bisa saja waktu melupa
perihal membaca yang lampau
atau sekadar mengenang yang pernah bertandang
serupa itulah menunggu masa bersenang, atau melupakan duka
saling berganti
peristiwa demi peristiwa kau catat
kau jadikan mantra
memanggil kata kata dan tanda baca
lalu menganakpinakkan banyak riwayat
mengenai rindumu pada malam hingga kau mengaduh
mengenai percakapanmu dengan seekor ular yang lalu kau susuri sungai, hutan belantara dan gunung gunung sembari bamamang
mengenai doa sekaligus dukamu yang kau syairkan dalam tembang rumah asap
atau mengenai tiga perempuan yang menurutmu ibu dari derasnya arus sungai amandit yang milir ke samudra luas
ini mantraku, mantra malam dari tak terhingga malam tanpa bintang, katamu
maka belajar pada alam adalah denyut nadi tiada henti
sebab rindu tak pernah habis mengajak malam untuk sekadar singgah di antara tebing curam dan kilap mata mandau
atau menjadi jimat sakti tetuha yang tersimpan di galeri musium
ini mantraku, mantra malam beribu kisah
mantra hidup mati perjalanan yang kucatat di setiap batu, di setiap liukan sungai sungai
di lembah lembah
di rimbun belantara
maka jika kelak aku mati
maka matiku syahdu
di pelukan bumi
Batulicin, 06.09.18
Pergaulan indah antarpenyair itu ada ketika dua penyair itu mampu saling berbalas sajak. Dalam sajak ini Tato mengupayakan kehadiran kognitif dan sosialnya di hadapan sajak Agustina. Apresiasi puitis Tato atas sajak Agustina sangat khas dan jarang dilakukan oleh para penyair di Kalsel. Dalam sajak ini Tato berdialog dengan karya Agustina. Untuk memahami maknanya yang lebih utuh, sajak ini harus dibaca berdampingan dengan sajak yang menjadi hipogram atau acuannya. Artinya, sajak Tato ini tidak otonom. Ia lahir karena peran sajak lain. Meski demikian, sajaknya tetap otentik, terutama ketika ia dengan percaya diri menyatakan bahwa kematiannya kelak akan syahdu dalam pelukan bumi.
Tiga puisi ini cukup untuk mengatakan kepada warga Batulicin yang mau belajar menulis puisi yang baik agar tak perlu jauh-jauh berguru. Bacalah antologi puisi Tato A. Setyawan yang segera diusahakan oleh Majelis Sastra Hahahihi. Jadikan bahan pembelajaran sastra di sekolah-sekolah agar pembelajaran sastra di Tanah Bumbu berisi bahan ajar dari sastrawan lokal yang mereka kenal. Dengan cara itu bahan ajar sastra bisa lebih kontekstual. Setelah itu, jadilah sastrawan gombal yang anti puisi sontoloyo.
Loktara, 31 Juli 2021
Sumber : www.sainul.net
0 Komentar