Terasyik

6/recent/ticker-posts

Primitive Monkey Noose, Punk Rock Tradisional, dan Pesan-Pesan Kebudayaan

Personel Primitive Monkey Noose saat sowan ke keluarga Fadly Zour untuk mengcover lagu Mahadang Ading. Orang yang berada di posisi kaling kiri dan kanan hanya pemanis.

NGEBAND adalah aktivitas kuno yang hanya dilakukan oleh orang tua. Coba lihat, hari ini nyaris tak ada bocil kelahiran 2000-an ke atas yang membentuk grup band, merilis album, lalu populer di Indonesia. Jangan buru-buru membandingkan popularitasnya dengan Dewa 19, Padi, atau Sheila On 7. Ya, minimal sesukses Kangen Band atau ST 12 lah. Jangan dicari, sudah pasti nggak ada.

Jadi, ketika band asal kota pelabuhan, Batulicin, (mirip-mirip Liverpool), bernama Primitive Monkey Noose dibentuk, saya sudah tahu bahwa band ini beranggotakan orang-orang yang sebenarnya sudah terlalu uzur untuk sekadar merilis single perdana. Dan ternyata itu benar. Bahkan sang vokalis, Richie Petroza, sudah lebih dahulu nge-band sebelum Padi merilis album perdananya bertajuk Lain Dunia pada 1999. 

Saya tak tahu kenapa band ini diberi nama Primitive Monkey Noose. Bisa saja itu bermaksud satire sebagai kritik untuk masyarakat kita hari ini yang mungkin dianggap primitif dan sebagian di antaranya berperilaku seperti anu yang rakus. Tapi mungkin saja nama itu memang ditujukan untuk musik yang mereka usung atau malah ditujukan ke diri mereka sendiri.

Meskipun personelnya rata-rata sudah OM-OM, Primitive Monkey Noose menjadi menarik karena dalam waktu dekat mereka akan merilis single berjudul "Mahadang Ading". Memang terdengar kontradiktif. Band dengan nama yang kebarat-baratan, dan tampak tidak punya napas kebudayaan Indonesia, tapi akan merilis lagu berbahasa Banjar. Ini satu kejutan yang sangat dibutuhkan agar sebuah band bisa sukses. Meskipun tentu satu kejutan saja tidak cukup. Sebab, jika ingin sukses, musisi harus memiliki ribuan kejutan lainnya. Tapi saya yakin band ini tidak bersifat komersial. Karena barangkali mereka juga menyadari bahwa musik yang mereka usung tidak berada di jalur komersial. Tapi soal popularitas lagu ini, siapa yang tahu? 

Primitive Monkey Noose membawakan ulang lagu Mahadang Ading dengan gaya punk rock yang sangat bertenaga. Hal pertama yang menjadi daya tarik lagu ini tentu saja perpaduan antara alat musik tradisional, panting, dengan punk rock. Dalam khazanah musik populer, ini sebenarnya tidak lazim. Sebab, punk rock biasanya cenderung tidak terlalu mementingkan eksplorasi musik. Itu berbeda dengan genre rock yang lain seperti psychedelic rock atau progressive rock. 

Primitive Monkey Noose saya kira berhasil menjadi punk rock yang berbeda dari punk rock kebanyakan. Atau bisa saja musik ini semacam alternatif dari punk rock itu sendiri. Sebab selain menggunakan panting, Ovecx, sang gitaris, memainkan lead yang cukup panjang di bagian akhir lagu ini. Itu juga tradisi yang tidak lazim dalam budaya punk. Sementara riff-riff gitar ala hardcore membuat lagu ini makin punya energi yang gahar. 

Selain itu, saya menyukai permainan bass dari Denny yang terdengar bergaya country. Gaya mainnya asyik untuk membuat setiap bagian lagu ini menjadi makin harmonis. Tapi saya menduga Denny bukanlah bass player yang murni berlatar belakang musik punk. Bisa saja dia ikut bermain di lagu ini karena ada unsur paksaan. Oleh siapa? Siapa lagi kalau bukan vokalisnya.

Di luar dari ketidaklaziman yang mereka sengaja lakukan, Primitive Monkey Noose boleh dibilang berhasil membawakan lagu ini dengan spirit baru dan membuatnya berbeda dengan lagu-lagu cover Mahadang Ading sebelumnya. Applause meriah untuk semua personelnya.

Rilisnya lagu ini semestinya juga bisa menjadi pesan kepada banyak musisi-musisi di skena lokal Tanah Bumbu untuk tetap melestarikan aset kebudayaan yang mereka miliki. Salah satu aset itu adalah lagu-lagu ciptaan almarhum Fadly Zour yang jumlahnya cukup banyak dan sayangnya belum semuanya dikenal masyarakat. Itu juga yang menjadi alasan Richie Petroza mengcover Mahadang Ading. "Lagu ini dicover karena belum terkenal seperti Pambatangan," katanya.

Dari Fadly Zour, musisi-musisi lokal Banua mestinya juga bisa belajar membuat lirik-lirik yang menggugah, penuh optimisme, dan tak sekadar bicara cinta menye-menye dengan diksi-diksi ala kadarnya. Dan Primitive Monkey Noose sudah membuka jalan ke arah yang benar untuk kemudian diikuti orang-orang yang mau mengikutinya.

Puja Mandela, 27 September 2021

Ditulis sambil mendengarkan album Pablo Honey, Radiohead dan Out of Time, R.E.M lewat tape deck. 











Posting Komentar

1 Komentar

  1. titanium arts
    TATONIC ART CUSTOMING ventureberg.com/ · TATONIC ROCKING T-TATONIC ROCKING T-TATONIC ford fusion titanium ROCKING T-TATONIC. herzamanindir.com/ This unique and original design is งานออนไลน์ crafted with 토토사이트 the use of sustainable

    BalasHapus