Dekade 1970-an adalah puncak kejayaan progresif rock. Yes, Pink Floyd, Emerson Lake Palmer, adalah nama-nama pengusung musik rock progresif yang mengilap di era itu.
Kelompok musik yang pada mulanya tidak memainkan genre ini pun ikut terpengaruh. Queen, misalnya, mencoba memasukkan roh progresif ke dalam lagu Bohemian Rhapsody pada 1975.
Meski tak terlalu populer, tapi pengaruh progresif rock juga sampai ke Tanah Air. Guruh Gipsy melalui album dengan judul yang sama berhasil menorehkan sejarah setelah memainkan musik rock progresif dengan cita rasa Indonesia.
“Guruh Gipsy jadi album yang sangat bernas. Ada warna Pink Floyd era Dark Side of the Moon yang bertemu dengan Fragile-nya Yes. Masing-masing komposisi punya musikalitas kuat serta muatan kritik sosial yang tegas. Misalnya saja di lagu ‘Geger Gelgel’ yang berisikan keprihatinan terhadap perilaku culas pejabat, atau ‘Djanger 1897 Saka’ yang menyentil ambisi mengubah Bali menjadi rumah para turis,” demikian dikutip dari catatan Tirto.id.
Sebagai bentuk penghargaan, Komunitas Kampung Buku Banjarmasin menggelar diskusi album Guruh Gipsy yang dirilis pada 1977, Sabtu (20/02) malam.
Acara itu masih dipandu oleh Dosen FKIP ULM Banjarmasin, Sumasno Hadi, dan dihadiri sejumlah tokoh seperti Hajriansyah, si empunya Kampung Buku, Novyandi Saputra, Gusti Ardiansyah, dan sejumlah peminat serta pegiat musik lainnya.
Dalam paparannya, Sumasno mengatakan album Guruh Gipsy tidak dibuat sebagai produk industri dengan target penjualan yang besar. Sebab album ini hanya dirilis kurang lebih 5 ribu kopi.
Meski tidak komersil, cita rasa artistiknya tinggi. Apalagi saat itu belum ada kelompok musik di Indonesia yang memainkan musik eksperimental seperti itu.
Proses rekaman Guruh Gipsy dilakukan di Laboratorium Pengembangan dan Penelitian Audio Visual Tri Angkasa, sebuah studio rekaman dengan fasilitas kanal 16 track pertama di Indonesia yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sejumlah nama-nama yang terlibat dalam pembuatan album ini di antaranya Guruh Soekarno Putra, Chrisye, Nasution Bersaudara, dan Abadi Soesman.
“Album ini direkam di studio paling canggih di Indonesia waktu itu. Dengan studio yang canggih itu saja kerepotan. Karena yang dibawa seperangkat gamelan dan lain-lain. Menurut cerita, satu lagu direkam sampai 200 kali. Prosesnya mahal. Tapi sudah disadari ini bukan industri oriented,” jelas Sumasno Hadi.
Guruh Gipsy berbeda pada zamannya karena memadukan elemen tradisional yaitu gamelan Bali ke dalam musik rock. Ini merupakan obsesi Guruh setelah mendengar karya Claude Debussy dan Collin McPhee. Keduanya sama-sama komposer, satu dari Perancis, satu dari Kanada yang pernah memasukkan bunyi gamelan dalam komposisi mereka.
“Proyek musik eksperimental ini menarik, karena mendialogkan dua kutub musik yang sangat berbeda laras musiknya, musik diatonis dengan laras pentatonis gamelan Bali, yang masing-masing tetap dengan frekuensi bunyi aslinya. Maka jadinya unik, agak aneh, namun menawarkan imajinasi baru,” komentar Sumasno.
Jika pada era 70-an band-band Indonesia banyak yang mengcover dan menciptakan lagu dengan bahasa Inggris, Guruh justru memiliki pandangan yang berbeda. Dalam berkarya, Guruh memang lebih condong menggali budaya Indonesia, alih-alih ikut-ikutan tren yang sudah dianggap mapan.
Album Guruh Gipsy kemudian dilepas ke masyarakat dan dijual seharga Rp 1.750 yang disertai semacam scrap book dengan maksud untuk bertutur perihal asal-usul lagu dan proses kreatif yang menyertai penggarapannya.
“Itu tergolong mahal. Padahal album musik era itu dijual Rp 400. Album ini dijual melalui semacam jaringan indie waktu itu,” tambah Sumasno.
Karena pengaruhnya yang besar, Majalah Rolling Stone Indonesia pada 2007 menempatkan Guruh Gipsy sebagai album terbaik kedua dari 150 album terbaik sepanjang masa.
*Artikel ini ditayangkan pertama kali di apahabar.com
0 Komentar