Terasyik

6/recent/ticker-posts

"Renungan Perihal Musik", antara Apresiasi dan Kritik

Tak banyak buku tentang musik dirilis oleh para penulis di Kalimantan Selatan. Dari yang sedikit itu, Sumasno Hadi adalah satu penulis yang mampu dan memiliki kepedulian untuk memotret peristiwa tentang perkembangan musik di Banua. 

Langkah Sumasno yang baru saja merilis "Renungan Perihal Musik" tentu bisa menjadi pemantik untuk penulis-penulis lain agar juga ikut menuliskan karyanya tentang musik, baik musik populer maupun tradisional.

Berdasarkan riset Art Music Today Yogyakarta, dalam lima tahun terakhir produktivitas penerbitan literatur musik mengalami pelonjakan signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. 

Tercatat terbit lebih dari 100 judul buku musik yang umumnya mengusung tema musik populer. Misalnya membicarakan riwayat band, lagu-lagu, tokoh musik populer, maupun fenomena sub-kultur. 

"Selebihnya adalah buku-buku ilmiah-populer, dan buku hasil penelitian ilmiah," kata Direktur Art Music Today Yogyakarta, Erie Setiawan.

Masih dari sumber yang sama, pada masa-masa selanjutnya, pertumbuhan penerbitan literatur musik dinilai makin merata dengan lebih banyak berfokus pada kekayaan musik tradisional di setiap wilayah di berbagai pulau. 

Erie menilai hal itu akan menjadi penyeimbang dari literatur musik populer. Sementara terkait karya terbaru Sumasno Hadi, dia memiliki keyakinan buku tersebut dapat memancing kreativitas penulis-penulis lain untuk menerbitkan buku tentang musik. 

Erie yang dikenal sebagai penulis sekaligus pemusik menjadi salah satu narasumber pada bedah buku Renungan Perihal Musik yang digelar secara daring, Senin (15/6) malam. 

Selain Erie, ada seniman Banua, Novyandi Saputera yang juga menjadi pembedah. Kegiatan itu dimoderatori oleh redaktur apahabar.com, Puja Mandela yang juga memiliki ketertarikan yang besar kepada musik-musik populer. 

Menanggapi Renungan Perihal Musik yang berisi catatan kritik dan apresiasi Sumasno Hadi terhadap peristiwa kesenian yang terjadi di Kalsel, Novyandi Saputera menilai kritik tidak sekadar hadir sebagai sebuah catatan. Namun, kerja kritik akhirnya memberi sebuah jejak atas sebuah karya melalui sebuah tulisan. 

"Lebih jauh saya kira tulisan-tulisan kritik akan memberikan tanda pada sebuah karya pada masa tertentu," kata Direktur Artistik NSA PM Banjarbaru. 

Dia mengatakan ekosistem seni pertunjukan musik pada masa sekarang tidak bisa memisahkan diri dari kerja kritikus. 

"Dua ruang ini harus mampu menciptakan sebuah iklim kolaborasi. Kepentingan dari kerja kolaborasi ini adalah untuk memberi pengetahuan estetik artistik atau interdisplin pengetahuan baik untuk seniman ataupun para penonton seni pertunjukan (musik) tersebut," jelasnya.

Bedah buku yang diinisiasi oleh Art Network of ULM digelar selama dua jam. Sejumlah akademisi, pemerhati, dan pecinta musik ikut nimbrung dalam bedah buku tersebut. 

Dari 10 tulisan yang ada di buku itu, sejumlah event seni pertunjukan di Banua tak luput dari apresiasi dan kritik Sumasno. 

Dosen yang dikenal sebagai kolektor kaset pita menuliskan catatannya untuk beberapa pertunjukan yang terjadi di Banua. Misalnya, pertunjukan penyair Kalsel Y.S Agus Suseno bertajuk "Di Bawah Langit Beku" yang digelar 2018 lalu. Selain itu, juga ada catatan tentang event Bandarmasih Jazz Fest 2017. 

Sumasno mengungkapkan buku terbarunya ditulis untuk menambah bahan materi kuliah di program studi yang dia ampu. Meski demikian, dia berharap karya terbarunya ini dapat mewarnai apresiasi musik di Indonesia. 

Sumber: apahabar.com

Posting Komentar

0 Komentar